Geli dan jengkel bila mendengar
seseorang yang mengatakan agama Islam itu hanya untuk di masjid, di majlis taklim,di
sekolah Islam dan di pesantren. Alquran dan hadits cukup disampaikan di
tempat-tempat ibadah saja. Agama Islam harus dicopot, disingkirkan,
dipinggirkan, dan dipisahkan dari urusan negara. Paham yang memisahkan urusan
negara, yang dalam konteks ini adalah pendidikan dengan agama inilah yang
disebut Dr. M. Rizieq Syihab sebagai
sekularisme. Ini sama saja menghina sekolah Islam dan pesantren yang sebenarnya
juga lembaga pendidikan di negara ini. Orang-orang sekular mungkin sengaja atau
tidak sadar telah mengabaikan sejarah pesantren dan sekolah Islam yang sangat
berperan dan berpengaruh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Bicara
sejarah pendidikan di Indonesia, siapa lagi kalau bukan Ki Hajar Dewantara
dengan taman siswanya yang sebenarnya sekolah warisan Belanda dan memiliki
paham sekularisme serta bercorak theosofi dan kebatinan. Padahal Indonesia juga
punya KH.Hasyim Asy’ari dengan Pesantren Nadlatul Ulamanya, KH.Ahmad Dahlan
dengan sekolah Muhamadiyahnya,dan Mohammad Natsir dengan PENDISnya. Timbul
pertanyaan, mengapa bukan dari tiga tokoh itu yang dipilih menjadi ikon
pendidikan nasional?
Memang benar, sejarah ditulis oleh
tinta kekuasaan yang buram, bukan dengan fakta sejarah yang terang. Tiar Anwar
Bachtiar,M.Hum, Peneliti Sejarah dan Ketua Umum Pemuda PERSIS mengatakan saat
itu kelompok nasionalis yang tergabung dalam PNI (Partai Nasional Indonesia)
mengambil jarak yang serius dengan kelompok Islam. Hal ini karena kelompok
Islam menerima Islam sebagai dasar negara Indonesia, sedangkan kelompok
nasionalis menolaknya. Soekarno dan anggota kelompok nasionalis yang menguasai pemerintahan saat itu sedang tidak
senang dengan kelompok Islam. Kemudian Soekarno dan M.Yamin (menteri pendidikan
saat itu yang mengusulkan kepada presiden Soekarno, tanggal 2 Mei menjadi hari
pendidikan nasional) tidak serius melihat pesantren dan sekolah Islam sebagai lembaga
pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, sangat
dimengerti mengapa Soekarno tidak memilih tokoh Islam seperti KH. Hasyim
Asy’ari atau KH.Ahmad Dahlan atau Mohammad Natsir menjadi ikon pendidikan
nasional.
Almarhum
Ustadz Hussein Umar, Ketua Dewan Dakwah Islam
Indonesia (DDII) dalam buku Dilema Mayoritas karya Artawijaya, mengungkapkan
bahwa sejarah bangsa ini adalah sejarah yang dipenuhi oleh perjuangan umat
Islam. Tapi sampai saat ini,kita selalu dikhianati dan dipinggirkan! Sejarah
yang penuh selubung khianat ini, harus
diluruskan! Dirinya kecewa dengan generasi muda Islam yang cenderung
mengabaikan sejarah. Padahal mereka berlayar setelah badai reda.
Pendidikan
yang sekular adalah masalah yang sangat serius. Bisa menjadikan seseorang yang “setengah-setengah” dan
berwajah dua. Satu sisi misal ketika belajar sains, seseorang bisa yakin tentang
hukum kekekalan energi yang mengatakan energi tidak dapat diciptakan dan tidak
dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk energi satu ke bentuk
energi lain. Padahal hukum itu memiliki dua pengertian yang sangat bertentangan
dengan Islam. Pertama, energi bukan zat ciptaan, artinya energi itu ada
sendirinya dan menyangkal adanya Allah, Sang Maha Pencipta. Kedua, energi tidak
dapat dimusnahkan, artinya energi akan selalu kekal walaupun ada kiamat. Sisi
lain ketika belajar agama, seseorang bisa yakin Allah itu menciptakan
segalanya, termasuk energi dan ketika kiamat, semua makhluk hancur tanpa
terkecuali energi.
Selain itu, pendidikan yang
sekular juga bertentangan dengan pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
Pancasila, dan Undang-Undang (UU) No.23 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Dalam pembukaan UUD 1945, Indonesia sebagai negara yang didirikan atas
berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, artinya nilai-nilai agama akan selalu
menjadi dasar dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat Indonesia, terlebih
dalam pendidikan. Kemudian sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Yang
Mahaesa dan ditegaskan di dalam UU No.20 tahun 2003 bahwa salah satu tujuan
pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. Artinya
pendidikan yang sekular tidak cocok di Indonesia dan tidak perlu dipertahankan.
Indonesia sebenarnya
pernah memiliki seorang sosok pejuang pendidikan yang antisekularisme, beliau adalah
Mohammad Natsir. Perhatiannya besar atas penanaman nilai-nilai Islam dalam
pendidikan. Bahkan ketika menjadi perdana menteri,salah satu prestasinya adalah
keputusannya bersama menteri agama,Wahid Hasyim, untuk mewajibkan pelajaran
agama di sekolah-sekolah umum.[1]
Pada tahun 1934 dalam
pidatonya saat Rapat Persatuan Islam, beliau mengatakan Seringkali pula
kenyataan, ada yang menganggap bahwa didikan Islam itu ialah didikan timur, dan
didikan barat ialah lawan dari didikan Islam. Boleh jadi, ini reaksi terhadap
didikan “kebaratan” yang ada di negeri kita, yang memang sebagian dari
akibat-akibatnya tidak mungkin kita menyetujuinya sebagai umat Islam.Akan
tetapi coba kita berhenti sebentar dan bertanya:”Apakah sudah boleh kita
katakan bahwa Islam itu antibarat dan protimur,khususnya dalam pendidikan?!
Pertanyaan itu hanya bisa terjawab lebih dulu: “Apakah kiranya yang menjadi
tujuan dari didikan Islam itu? Yang dinamakan didikan ialah suatu pimpinan
jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan
dalam arti yang sesungguhnya.[2]
Dalam prinsip dasar dan
tujuan dari pendidikan itu sendiri dijelaskan Mohammad Natsir dalam majalah Pandji Islam tahun 1938 sebagai berikut.
Sekiranya orang bertanya kepada pemimpin sekolah agama kita,dari Sabang sampai
ke Endeh, dari Balikpapan sampai ke Cilacap, dari kota-kota yang besar sampai
ke dusun-dusun:Apakah dasar dan cita-cita dari pendidikan yang tuan berikan?,maka
sudah tentu akan mendapat jawaban pendek atau panjang,dapat disimpulkan dengan:Dasar
didikan kami ialah Tauhid, yang tersimpul dalam dua kalimat syahadat, Tauhid
yang menjadi pokok dari kemerdekaan dan kekuatan rohani,dasar dari kemanusiaan
dan kecerdasan manusia. Tujuan pendidikan kami ialah mendidik anak-anak
kami,agar sanggup memenuhi syarat-syarat penghidupan manusia sebagai yang
tersimpul dalam kalam Allah:wabtaghi fiimaa aataakallahuddaaral aakhirata wa
laa tansa nashiibaka minaddunyaa ..., supaya anak-anak kami itu dapat memenuhi
kewajiban –kewajiban yang perlu mencapai tingkat hamba Allah, yakni
setinggi-tinggi derajat yang menjadi tujuan bagi tiap-tiap manusia menurut
keyakinan muslimin,sebagaimana yang terlukis dalam firman Allah:wa maa
khalaqtul jinna wal insa illaa liya’buduuni.[3]
Dari apa yang dikatakan di
atas tampak bahwa beliau memegang prinsip antisekularisme dalam pendidikan.
Beliau tidak ingin umat Islam hanya menguasai ilmu agama sehingga tertinggal
dalam persaingan global. Beliau juga tidak mau umat Islam hanya mempelajari
ilmu umum dan buta terhadap agamanya yang akan menyebabkan mereka tidak tahu
tujuan hidup sebenarnya berdasarkan petunjuk Islam.
Untuk mewujudkan visi
pendidikannya, pada tahun 1927 beliau mendirikan lembaga pendidikan di
lingkungan Persatuan Islam di Bandung yang diberi nama PENDIS. Usaha yang akan
dilakukan PENDIS adalah menyelenggarakan dan mengembangkan pelajaran ilmu
modern yang dipadukan dengan pelajaran Islam. Program yang dijalankannya antara
lain mendirikan sekolah-sekolah seperti Frobel
School (Taman Kanak-Kanak), HIS, MULO,serta pertukangan dan perdagangan,
mengadakan asrama,kursus-kursus dan ceramah-ceramah.[4]
Selain itu dibuka kweekschool
(sekolah guru).[5]
Sesuai dengan
tujuannya,PENDIS memang tidak secara khusus mencetak ulama, tidak seperti
pesantren-pesantren. Oleh sebagian orang, jenjang-jenjang pendidikan di PENDIS
dianggap seperti pendidikan umum, hanya saja bermuatan Islam. Orang tua murid
yang mengharapkan anaknya memiliki pengetahuan agama lebih mendalam,pada sore
hari memasukkan anaknya ke Pesantren Persatuan Islam.
PENDIS makin lama,makin
berkembang, bahkan pada tahun 1938 atas inisiatif alumnus-alumnus PENDIS
Bandung, sekolah model PENDIS ini sempat dibuka di lima tempat lain di Jawa
Barat[6],
di Bangka dan Kalimantan[7].
Perjuangan memang penuh cobaan. Setelah beberapa bulan pindah ke gedung yang
lebih besar di Jalan Lekong Besar 16, penyokong keuangan terbesar PENDIS,Haji
Muhammad Yunus, meninggal. Sejak saat itu PENDIS mulai merasakan kesulitan
dalam keuangan sampai-samapi diusir oleh pemilik gedung karena tidak mampu
membayar sewa. Namun demikian beliau dan PENDISnya tetap bertahan dengan
memanfaatkan gedung milik Persatuan Islam di Jalan Lekong Besar No.74
Bandung, sampai akhirnya ditutup oleh
pemerintah Jepang pada tahun 1942.[8]
Mohammad Natsir dan
PENDISnya memang bukan sesuatu yang baru di masanya. Sangat besar kemunginan
bahwa yang dipikirkan beliau dipengaruhi oleh pemikir-pemikir berhaluan
pembaharuan di Minang yang mendirikan sekolah-sekolah sejenis seperti Sekolah
Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad, tempat beliau pernah menuntut ilmu di
Padang.[9]
Walaupun bukan yang pertama,apa yang beliau lakukan dengan PENDISnya menjadi
penting karena secara konsisten beliau menerapkan visi pendidikannya dalam
kurikulum pengajaran dalam bentuk integral, berbeda dengan sekolah Muhammadiyah
yang saat itu hanya menjadikan pelajaran agama sebagai pelajaran tambahan.
Beliau menempatkan pelajaran agama sejajar dengan pelajaran lain. Kemudian beliau
tidak memaksakan PENDIS sebagai satu-satunya model pendidikan yang harus
dikembangkan. Secara konsisten beliau juga menyokong berdirinya Pesantren
Persatuan Islam pada tahun 1936 atas inisiatif A.Hassan. Sokongannya bukan
basa-basi, beliau ikut merumuskan kurikulum dan menjadi pengajar di sini.
Sesuai dengan visinya,pesantren yang baru didirikan ini tidak hanya mengajarkan
berbagai disiplin ilmu agama yang mendalam seperti pesantren lain, tapi juga
mengenlkan pengetahuan umum seperti pengetahuan sosial, Bahasa Belanda,Bahasa
Inggris,ilmu mengajar,dan sedikit ilmu alam.Terakhir,visi dan prinsip yang dipegang
beliau ini sepanjang hayatnya,dalam posisi apapun terus digenggam. Saat
mendirikan PENDIS,beliau bereksperimen dengan visi dan prinsipnya. Saat menjadi
politisi,ia tetap memegang teguh prinsipnya. Setelah meninggalkan dunia politik
dan kembali ke medan dakwah,prinsipnya tetap menjadi pegangannya.
Ini memperlihatkan
bagaimana perhatian Mohammad Natsir yang menyeluruh terhadap pengembangan
seluruh ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Beliau sangat sadar bahwa
umat Islam harus menguasai seluruh disiplin ilmu itu sebagai jembatan meraih
kemenangan. Namun apa yang dilakukan beliau tentunya belum maksimal, akan
tetapi usaha ini harus dihargai dan diletakkan sebagai batu pondasi pertama ke
arah pembangunan pendidikan antisekularisme di masa depan.
Di dalam sejarah terdapat
mauidhah-pelajaran dan haq-kebenaran, rahmat, dan huda-petunjuk bagi
orang-orang yang mengerti dan beriman. (QS 12.11)
Andi Ryansyah,mahasiswa UNJ
[1] Tiar Anwar Bachtiar, M.Natsir:
Pelopor Pendidikan Integral, Jurnal
Islamia, Vol.V. No.1, 2009
[2] Tiar Anwar Bachtiar, M.Natsir:
Pelopor Pendidikan Integral, Jurnal
Islamia, Vol.V. No.1, 2009
[3] Tiar Anwar Bachtiar, M.Natsir:
Pelopor Pendidikan Integral, Jurnal
Islamia, Vol.V. No.1, 2009
[4] Ajip Rosidi, M.Natsir:Sebuah
Biografi, Jakarta: Girimukti Pusaka, 1990,
hlm.169
[5] Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:
LP3ES,1995,hlm.101
[6] Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:
LP3ES, 1995, hlm.102
[7] Yusuf Abdullah Puar, Muhammad
Natsir 70 Tahun:Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta:Pusaka
Antara, 1978, hlm.35
[8] Yusuf Abdullah Puar, Muhammad
Natsir 70 Tahun:Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, Jakarta:Pusaka
Antara, 1978, hlm.40
[9] Tiar Anwar Bachtiar, M.Natsir:
Pelopor Pendidikan Integral, Jurnal
Islamia, Vol.V. No.1, 2009
0 comments:
Posting Komentar