Oleh: Desi Ayu Triana (Mahasiswa UNJ)
Bogor, 8-9/10. Pertama kali dengar IICC, IPB International Convention Center.
Pertama kali menginjakkan kaki di Botani Square, mall tergaul di Bogor -
kata teman yang seorang Bogor-ian hahaha. Berawal dari email yang
menuntun langkah kaki berani ke kota orang ini, sendirian. Berani
meninggalkan banyak jadwal kuliah untuk kesempatan yang mungkin saja tak
datang dua kali. Email dari mas Hendra, presiden Transformasi Hijau
(TRASHI) menawarkan keikutsertaan sebagai penyaji paper (presenter)
di seminar internasional dengan dibiayai. Kerjasama yang cukup
spektakuler tanpa tatap muka, mengandalkan kemajuan teknologi yang
menggila.
SMS, Facebook, dan Email jadi sarana bertukar pikiran, saling melengkapi tugas paper kami berempat; mas Hendra Aquan, mas Ady Kristanto, Edy Sutrisno, dan saya. Mengambil judul tengah untuk basic pengamat burung (mas Ady dan saya) dan pejuang ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta (mas Hendra dan mas Edy) yakni STATUS BURUNG DI RUANG TERBUKA HIJAU JAKARTA guna memenuhi tema urbanisasi yang diangkat dalam seminar dwi tahunan ini, Jakarta Megacity (JABODETABEK) Study Forum. Ini kali keempat seminar, tapi kali pertama saya tahu dan mengenalnya.
SMS, Facebook, dan Email jadi sarana bertukar pikiran, saling melengkapi tugas paper kami berempat; mas Hendra Aquan, mas Ady Kristanto, Edy Sutrisno, dan saya. Mengambil judul tengah untuk basic pengamat burung (mas Ady dan saya) dan pejuang ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta (mas Hendra dan mas Edy) yakni STATUS BURUNG DI RUANG TERBUKA HIJAU JAKARTA guna memenuhi tema urbanisasi yang diangkat dalam seminar dwi tahunan ini, Jakarta Megacity (JABODETABEK) Study Forum. Ini kali keempat seminar, tapi kali pertama saya tahu dan mengenalnya.
![]() |
di meja presenter (foto oleh Andes) |
Seminar pada hari Selasa, 8 Oktober 2013. IICC Ballroom lantai 1
tertera di pintu kaca mall Botani Square untuk seminar Jabodetabek-nya.
Pukul 12 saya bertanya-tanya pada pelayan restauran, cleaning service,
satpam, dan terakhir pada receptionist. Barulah saya mendapat
jawaban arah yang benar ketika jam tangan burung hantu saya menunjuk
pukul hampir pukul 13, ternyata di lantai 2 dari pintu masuk mall. Pukul
13 harusnya saya maju presentasi di ballroom ruang 4. Namun
memang Indonesia, setelah saya sholat dzuhur, waktu berputar ke angka
antara 1 dan 2 di jam tangan saya, memasuki lagi ballroomnya
ternyata masih sangat sepi, bahkan peserta harus dipanggil terlebih
dahulu untuk memasuki ruangan karena waktu sudah terlalu molor. Peserta
pertama belum (dan memang tidak) hadir, maka saya yang menjadi presenter
pertama. Di antara para wajah yang asing, senjang usia yang ketara
sekali bedanya - saya termuda, saya mempresentasikan paper dalam powerpoint yang saya sudah buat semalamnya, full in English but read in Indonesian
karena kesepakatan orang-orang di ruang 4, dampak tak telihatnya batang
hidung non pribumi, moderator menyimpulkan kesepakatan berbahasa
Indonesia dalam presentasi.
Status Burung di RTH Jakarta. Berdasarkan data pengamatan mas Ady dkk
(2010-2012) di 19 RTH Jakarta, ditemukan 129 spesies burung dengan 6 di
antaranya berstatus mendekati punah hingga sangat terancam punah (cerek
jawa, pecuk ular asia, cikalang Christmas, bangau bluwok, jalak putih,
dan bubut jawa). Dibandingkan penelitian burung pertama kali di Jakarta
oleh seorang bule (Hoogerwerf) tahun 1937 yang menyatakan adanya 256
spesies burung di Jakarta, maka disimpulkan terjadinya penurunan jumlah
spesies burung. Hal ini dimungkinkan karena maraknya alih fungsi lahan
RTH contoh Angke yang menjadi perumahan PIK, Senayan menjadi Plaza
Senayan dan Senayan City. RTH yang paling banyak memiliki jumlah spesies
burungnya adalah Suaka Marga Satwa Angke, yakni 105 dari 129. SMMA ini
sekaligus habitat terakhir bagi jalak putih dan bubut jawa.
Cukup disayangkan, karena ruangan seminar dipisah per kategori peserta dan paper
burung ini dalam kategori komunitas, maka di dalam ruangan saya adalah
orang-orang komunitas yang melulu membicarakan lingkungan saja, sangat
secuplik tentang biodiversitas. Mungkin kalau ruangannya bercampur
dengan yang kategori mahasiswa, saya akan dengan mudahnya menarik
perhatian dengan paper ini dan mengundang rasa ingin tahu lebih dari sekedar presentasi saya. Sayang sekali, tidak begitu adanya.
Selama presentasi ada yang bercerita tentang profil komunitasnya, ada
yang menunjukan aktivitas-aktivitas kepedulian komunitasnya terhadap
lingkungan, juga ada cita-citanya untuk mempertahankan keagungan Bogor
dahulu - areal hijau dalam petanya jauh lebih luas dari pada areal ungu
atau kuningnya. Di luar kisah Bogor, terkisahkan juga tentang
pelanggaran-pelanggaran penggunaan lahan kawasan hutan lindung serta
kabar Kalimantan dimana masyarakat aselinya justru terasingkan menjadi
alien dengan pendatang yang menguasai daerahnya. Mereka yang bercerita
adalah presenter dari Komunitas Peduli Kampung Halaman (KALAM),
Komunitas Peduli Ciliwung (KPC), komunitas Bogor100, Kampoeng Bogor,
Forest Watch Indonesia, dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).
Tentu saya dari TRASHI :)
Hari kedua, 9 Oktober 2013. Diawali dengan diantar nenek ke stasiun Gambir, salah - ternyata di Gambir tidak ada commuter line
ke Bogor. Terpaksa membuang waktu menunggu transjakarta ke Juanda.
Selama di kereta ditelponin sama ketua panitianya, mas Galuh. Hingga
sampai di Bogor, lagi di ojeg mendadak ada perempuan entah siapa
menelpon saya dengan ketusnya menyuruh saya cepat. Selanjutnya mas Galuh
lagi nelpon, bilang sebaiknya saya cepat karena yang lain sudah kesal.
Berhenti persis di depan bus biru, Big Bird. Secara sopan dan senyum
ramah supirnya turun dan membukakan pintu untuk saya sambil bilang
"tarik napas aja dulu gak apa kok". Namun tetap dengan panik rasa
bersalah, saya masuk bus sambil meminta maaf pada semua, tapi tak ada
satupun yang merespon. It s gonna be awkward day, saya pikir. Pukul 8, ngaret setengah jam karena saya, akhirnya kami meluncur.
Destinasi pertama, Puncak. Menuju basecamp KPC dengan om yang maaf saya lupa namanya -_- lelaki paruh baya dengan uban di rambut-rambutnya, berkaos dengan tulisan Ciliwung Institute. Dengan berbahasa Inggris *karena ada 3 peserta yang aseli dari Jepang* beliau menunjukkan dan menjelaskan tentang sekitar basecampnya.
Ada sungai Cisampay, sedih melihatnya, masih di Puncak padahal, tapi
sampah sudah meraja lela di salah satu hulu sungai Ciliwung itu. Di basecamp,
ada sealiran cetek nan meneduhkan air Cisampay yang cukup bersih karena
aktivitas KPC, dibuatkan juga keran-keran airnya dari bambu. Bahkan
dipersilahkan mencoba meminumnya, ada seorang wanita paruh baya
berkerudung yang menemani terus ketiga orang Jepang dan berkomunikasi
dengan bahasa Jepang *kemudian akhirnya saya tau beliau adalah dosen
IPB, 2 Japanese itu dosen dari Kyoto University, 1 Japanese lagi masih mahasiwa arsitektur landscape*
beliau meminum air itu. Lihat sekitar, ternyata KPC di sini asyik
membudidayakan pohon palem aren (pohon gula aren) dan bambu yang kata si
om kedua tanaman ini bagus untuk penyimpanan air tanah. Sayang
lagi-lagi, ternyata ada air terjun sampah di samping basecamp.
Menurut si om itu berasal dari villa-villa yang ada dan
restauran-restauran juga warga, karena di daerah sana belum ada Tempat
Penampungan Sampah. Rencananya, KPC sedang ingin membangunnya. Oiya di
basecamp ini, untuk perdananya saya makan tales bogor loh! Dengan
taburan kelapa, macam menikmati ketan, ternyata tales lembut yah dengan
rasa yang tak terdefinisi - hambar tidak, berasa pun tidak jelas rasa
apa itu hahaha norak yah saya :D
Lokasi kedua, Telaga Warna. Ah tak asing, tempat biasa acara Biologi di kampus ku. Hanya saja kali ini land rover,
bukan tronton. Dan aku baru tau, ternyata telaga ini bukan air diam
semacam waduk, melainkan dia juga sumber air sungai Ciliwung, dia
mengalir! Dan ternyata, di tengah telaga ini ada pusara air, karena itu
tak diizinkan berenang di telaga - takut terseret dalam pusara yang tak
terlihat. Lokasi ketiga, Telaga Saat. Baru pertama kali lihat, ah cantik! Dan turun dari land rover,
kami disambut pemandangan para ibu yang nampak renta sedang duduk
istirahat setelah memetik daun teh. Kalian tau? seorang ibu renta itu
biasa memikul 2 buntelan besaaaaaaaaaaaaar daun teh! Buntelan itu nyaris
bentuk segi empat dan ketika kami coba, bahkan mas Galuh dengan pas
badan ideal berisinya tak kuat mengangkat satunya. Hayashi si mahasiswa
Jepang pun mencoba mengangkatnya, tapi gagal. Ckck super sekali ibu-ibu
itu! Padahal kata mereka, sekilo daun teh hanya dihargai 48ribu :')
alian menuju villa tempat lunch
kami. Villa besar dengan dominan halaman daripada bangunan vilanya dan
teduh. Menu makan siang yang enak, yummy! Lokasi kelima, Cimory Riverside
sambil melepas ketiga Japanese itu menuju Jakarta untuk mengejar
pesawat malamnya pulang ke Jepang. Ternyata samping sungai yang dimaksud
adalah samping sungai Ciliwung, karena memang sungai itu adalah aliran
sungai Ciliwung. Destinasi keenam diskip, hanya dilihat dari
jendela bus karena macetnya Puncak-Bogor mengkhawatirkan destinasi akhir
ujung sungai Ciliwung di Bojong Gede.
![]() |
Basecamp KPC Bojong (foto oleh mas Galuh) |
Perjalanan berakhir di kampung Bojong Gede. Masuk dari komplek
perumahan jalan kaki menembus kandang kambing dan tanah kosong,
sampailah di kampung Bojong. Melewati jembatan yang melintang di sungai
Ciliwung yang besaaaaar. Kata mbak Uti, salah satu panitia, tiap sore
sekitar jam 3 anak-anak kampung ini terjun dari jembatan untuk mandi.
Ohiya kalo kalian tau film Brandal-Brandal Ciliwung, ya saya
yakin ini lokasinya! Dan memang ada acara rutin festival Ciliwung dan
lomba memancing ikan yang diadakan KPC dengan membawa pulang ikan
introduksi dan melepaskan kembali ikan native yang terpancing.
Tujuannya melestarikan spesies ikan aseli Indonesia dan menarik atensi
warga untuk mencintai sungai Ciliwungnya :) Juga ada kegiatan mulung
sampah Ciliwung tiap Sabtu kalo saya tak salah ingat. Siapapun dari
manapun kalau ingin bergabung, dipersilahkan langsung ke lokasi ;) Bagi
saya yang menarik di sini adalah budidaya tanamannya. Semua tanaman yang
dibudidayakan adalah tanaman aseli Indonesia dan semua hasil memulung,
artinya tak membeli bibit. Dan bila minta ke bang Udin - tukang pulung
bibit, anggota KPC, untuk ditanam akan diberinya gratis. Namun kalau
ingin membelinya, akan diberi harga mahal. Karena bagi bang Udin, bukan
masalah duitnya, tapi mau merawat tanaman yang ia sayangi, begitu
menurut kang Hary - pentolan KPC yang dijadikan tour guide untuk fieldtrip ini.
Ah perngalaman tak terlupakan! Awkward day yang saya pikir
ternyata tak terjadi, justru mereka semua ramah dan bahkan mau menyapa
saya duluan meski saya jauh lebih muda dari pada mereka, bertanya
tentang pengalaman birdwatching saya membuat saya merasa 'mendapat tempat' :) Big thanks to mas Hendra, mas Ady, dan mas Edy yang mempercayakan saya menjadi presenter paper dalam skala seminar besar seperti ini! ^^
sumber: http://datrianainredglasses.blogspot.com/
sumber: http://datrianainredglasses.blogspot.com/
0 comments:
Posting Komentar