Saat ini banyak
orang yang meremehkan peran santri dalam
proses pembentukan negara ini.
Padahal saat zaman kolonial, mayoritas umat Islam di Indonesia mengkristal
dalam satu kelompok yang disebut santri yang sangat mengganjal laju pergerakan kolonialisme
. Sayangnya dalam penulisan sejarah, santri tidak pernah dimunculkan,
seolah-olah santri tidak punya peran. Ini merupakan strategi Belanda dalam mengaburkan
kontribusi Islam di Indonesia karena sejak awal mereka menganggap santri
sebagai musuh, sebagai kelompok yang harus ditumpas, dan sebagai kelompok yang
harus disingkirkan. Makanya santri selalu tidak pernah diberikan peran dalam
strata sosial masyarakat kolonial saat itu.
Masyarakat kolonial
hanya mau bekerja sama dengan kelompok priyai. Kelompok priyai sebenarnya
muslim,akan tetapi menjadi “kaki tangan” kolonial, setuju-setuju saja dengan
kebijakan politik dan ekonomi kolonial
karena mereka diuntungkan. Bila sebelumnya mereka adalah keluarga kerajaan yang
menikmati fasilitas, ketika kolonial datang, keadaan itu tidak berubah. Kelompok ini lah yang diberikan kesempatan
sangat banyak oleh Belanda untuk mendapat akses ekonomi dan politik.Sementara
itu, kelompok santri yang dipimpin oleh
Kyai dan Ustadz tidak bisa diajak kompromi oleh Belanda karena keyakinan umat
Islam tidak boleh dipimpin oleh kafir kolonial.
Sejak 1 Januari
1800, Indonesia praktis di bawah pemerintahan
Hindia Belanda. Saat itu, menurut para sejarawan sebagai abad yang
paling bergolak karena terjadi perlawanan kepada Belanda di berbagai tempat.
Uniknya setelah diteliti,yang mayoritas melakukan perlawanan kepada Belanda
adalah kelompok santri.
Di Jawa dan Sumatera sebagai representasi, ada
2 pristiwa besar perang kepada Belanda.
Di Jawa ada perang Diponegoro atau perang Jawa dengan tokohnya Pangeran
Diponegoro dan di Sumatera ada perang padri dengan tokohnya Imam Bonjol.
Sayangnya dalam buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah, Pangeran
Diponegoro dan Imam Bonjol hanya ditulis sebagai tokoh nasional, seolah-olah
tidak ada ideologi di sana.
Padahal bila
ditelusuri lebih dalam, pangeran Diponegoro sebenarnya dahulu seorang santri. Beliau berteman baik
dengan Mojo di pesantrennya. Namun karena pangeran Diponegoro anaknya raja, jadi tidak
menjadi Kyai, sedangkan Mojo menjadi Kyai Mojo. Kyai Mojo juga sebagai salah
satu panglima perang Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830. Pasukan di
belakang pangeran Diponegoro saat perang adalah santri-santri Kyai Maja. Kyai
Maja tidak hanya menggerakkan dan melatih
santri di pesantrennya, tapi juga di berbagai pesantren lainnya untuk
melawan Belanda dalam perang Diponegoro.
Dalam buku dosen Universitas Indonesia yang meneliti tentang strategi
perang Diponegoro, dicatat bahwa
ideologi perang ini adalah jihad melawan orang kafir. Ini pertanda
betapa santri sangat kuat dan semangat
melawan Belanda. Imam Bonjol dan santrinya di Sumatera Barat sampai titik
tertentu juga harus menghadapi kolonial
Belanda yang dikenal perang padri pada tahun 1821-1837.
Sejarah perang
Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol sepatutnya menjadi fakta yang tidak
terbantahkan bahwa Indonesia memang
diperjuangkan oleh santri. Jika ada yang membantah, waktu itu tidak
hanya santri yang berjuang, pertanyaannya siapa yang serius menghadapi Belanda?
Abad 19 sebut saja kelompok kristen. Tokoh Kristen pasti akan dekat dengan
Belanda karena Belanda yang membawa kristen, misi kristenisasi dan Zending
dibiayai pemerintah kolonial Belanda. Satu-satunya yang rasional melawan
Belanda adalah kelompok santri.
Narasumber: Ketua Umum
Pemuda PERSIS & Peneliti Sejarah, Tiar Anwar Bachtiar
Ditulis oleh: Andi Ryansyah (Mahasiswa UNJ)
0 comments:
Posting Komentar