Oleh: Andi
Ryansyah, Mahasiswa UNJ
Ketika
zaman kejayaan Islam, ulama dan saintis bersatu dalam tubuh tiap manusia. Namun sekarang ulama
seolah-olah tidak mengerti sains dan saintis tidak mengerti Islam. Ini
disebabkan oleh konsep pendidikan
Indonesia masih memisahkan agama dan sains, yang dikenal dengan istilah sekularisasi.[1]
Peran sains dalam agama menjadi hanya semata-mata
untuk keperluan praktis, misal untuk
membuat robot, obat, makanan, pupuk, kendaraan dan lain sebagainya. Padahal dahulu
yang dicontohkan oleh ulama kita, beliau belajar sains untuk juga semakin dekat
kepada Allah. Sehingga jika sains berkembang, keimanan bisa semakin mendalam.
Tujuan penciptaan manusia di dalam Alquran sebenarnya ada 2, pertama menjadi
hamba Allah[2] dan kedua,
khalifah/pemimpin di muka bumi[3].
Sayangnya, hanya tujuan sebagai khalifah di muka bumi, sains lebih dimanfaatkan
seperti untuk memakmurkan bumi dan mengelola alam. Tapi sebagai hamba Allah nya
dikesampingkan. Artinya ada tantangan bagi kita agar sains bisa dimanfaatkan
dalam kedua tujuan itu.
Dalam
Islam, tujuan belajar sains yang paling utama adalah semakin mengenal Allah. Alquran menyebut alam itu dengan ayat dan
ayat itu artinya tanda tentang sesuatu. Sehingga ketika fokus belajar alam
sebagai ayat, tidak hanya alamnya saja yang diperhatikan,tapi juga pencipta
alamnya juga yaitu Allah, Maha Pencipta. Masalahnya orang membatasi belajar
sains dengan hanya melihat fenomena alam saja.Seperti yang diumpamakan Imam Ghazali, seekor semut
yang melihat pena menulis di atas kertas. Semut hanya memandang tulisan itu ada
karena pena. Padahal jika semut memandang lebih jauh ke atas, ada manusia yang
menggerakkan pena itu. Sains berhenti pada pena saja, tidak melihat ada Allah, Maha Pengatur alam ini.
Masalah
pendidikan sains yang mengkhawatirkan adalah sekularisasi. Agama dicabut dari sains. Ini kesalahan yang
besar karena bisa menjadikan muslim yang “setengah-setengah” dan goyah
keimanannya. Contoh di salah satu buku
teks IPA kelas IX, siswa diajarkan tentang
hukum kekekalan energi dalam sains yang mengatakan energi tidak dapat
diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya dapat berubah dari bentuk
energi satu ke bentuk energi lain. Hukum
itu memiliki dua pengertian yang bertentangan dengan agama. Pertama, energi
bukan zat ciptaan, artinya energi itu ada sendirinya dan menyangkal adanya
Allah, Maha Pencipta. Kedua, energi tidak dapat dimusnahkan, artinya energi
akan selalu kekal. Padahal siswa juga diajarkan dalam pelajaran agama Islam
bahwa langit dan bumi beserta seluruh isinya adalah ciptaan Allah.[4]
Selain itu, seluruh alam bersifat fana dan akan musnah sesuai kehendak
penciptanya. Ini berarti energi adalah salah satu ciptaan Allah yang suatu saat
akan musnah juga.
Indonesia
adalah negara yang didirikan atas berkat rahmat Allah Yang MahaKuasa[5]
sehingga nilai-nilai agama akan selalu menjadi dasar dalam seluruh bidang
kehidupan masyarakat Indonesia, terutama bidang pendidikan. Oleh karena itu
pendidikan sains dan agama tidak boleh dipisahkan di Indonesia. Hal ini semakin dikuatkan dengan diterimanya
pandangan hidup negara Pancasila di mana
sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Mahaesa. [6]
Sila tersebut pada dasarnya mencerminkan
konsep manusia ideal menurut bangsa Indonesia, yaitu manusia yang Berketuhanan
Yang Mahaesa yang tak lain adalah manusia beriman. Salah satu tujuan pendidikan
nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar manusia menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.[7
[1] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam
dan Sekularisme, Bandung : PIMPIN, 2011, hlm.166
[2] Az Zariyat ayat 56
[3] Al Baqarah ayat 30
[4] Al Baqarah ayat 29
[5] Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
[6] Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Negara berdasar kepada Ketuhanan Yang Mahaesa
[7] Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bagus artikelnya perlu dipublikasikan nihh :D
BalasHapusmuhiqbal.student.ipb.ac.id