Rabu, 07 Agustus 2013

Kedaulatan Pangan di Indonesia, Sebuah Kedaulatan yang Dipertanyakan Keadaannya


  Oleh: Abdul Hasan Al Asyari ( Mahasiswa UNJ )

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman

Kita pasti tahu sebait lirik tersebut. Ya, lirik tersebut adalah lirik lagu “kolam susu” dari Koes Plus. Itulah sedikit gambaran tentang negeri kita. Indonesia namanya. Negeri yang ‘katanya’ memiliki tanah dan sumber daya alam yang melimpah. Mungkin kalimat tersebut  terdengar tak asing bagi kita. Tak dapat dipungkiri betapa kayanya Indonesia dengan segala limpahan sumber daya alam salah satunya di bidang pangan. Kenyataannya, walaupun negeri ini kaya tetapi masih banyak rakyat Indonesia yang dilanda oleh kemiskinan, kelaparan, dan ketidaksejahteraan.

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi yang kepemerintahannya dari, oleh dan untuk rakyat. Artinya, Indonesia merupakan sebuah negara yang berdaulat dimana bangsa Indonesia memiliki kekuasaan tertinggi untuk mengatur kehidupan rakyatnya mencapai masyarakat sejahtera adil dan makmur. Pertanyaan sekarang yang muncul adalah apakah kedaulatan tersebut sudah menyeluruh? Jawabannya adalah tidak. 

Salah satu contoh kedaulatan yang masih dipertanyakan kedaulatannya adalah kedaulatan pangan di Indonesia. Menurut UU No. 18 Tahun 2012 kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sederhana saja, Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah agraris dan perairan cukup luas sehingga kebutuhan pangan di Indonesia dapat terpenuhi. Namun kenyataannya terlihat berbeda. Untuk memenuhi kebutuhan ikan patin saja, Indonesia harus mengimpornya dari luar negeri yakni Vietnam. Padahal di negara kita sendiri sebenarnya mampu memproduksi barang yang serupa. Akibatnya jika impor ikan patin akan terus menerus dilakukan, maka ikan patin lokal dikhawatirkan memiliki daya saing di pasar lokal. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, kebutuhan ikan patin seperti untuk perhotelan dan restoran dengan kualitas super tidak kurang dari 100 ton per bulan. Dapat dibayangkan, bagaimana nasib petani tambak ikan patin lokal?

Hal yang tak jauh berbeda terlihat juga dari petani sayur yang mengeluhkan impor cabe dan bawang dari Thailand dan Vietnam. Sebaliknya pemerintah menganggap impor tersebut sebagai sebuah langkah untuk menstabilkan lonjakan harga komoditas pertanian serta untuk mengatasi kelangkaan kebutuhan seperti cabe dan bawang putih. Seolah menutup mata, pemerintah sendiri nampaknya tidak serius apalagi dalam dunia impor tidak sedikit ‘iming-iming’ yang dijanjikan sangat besar seperti yang terjadi pada kasus daging impor sekarang ini. Sudah saatnya pemerintah peduli dengan kesejahteraan petani lokal dan memberikan dukungan terhadap hasil panen petani tersebut.

Inilah sedikit gambaran kedaulatan pangan di Indonesia. Negeri yang menjunjung tinggi kedaulatannya, namun masih dipertanyakan keadaan kedaulatan tersebut. Indonesia punya segalanya. Negara lain takut jika Indonesia mandiri tidak dapat diembargo lagi. Seharusnya, kita sebagai warga negara Indonesia yang mengembargo diri sendiri. Sederhana saja, belilah pangan dari petani-petani sendiri, dengan begitu kita membantu untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan petani lokal. Belilah tekstil garmen dari pabrik-pabrik sendiri. Cintai produk Indonesia dengan tidak perlu mengimpor barang dari luar negeri. Cintai keindahan wisata Indonesia dengan tidak berwisata ke luar negeri. Cintai budaya Indonesia dengan bangga belajar dan mempresentasikan budaya bangsa. Cintai aset alam Indonesia dengan memanfaatkannya secara bijak serta mampu menjaganya. Sekarang, semua ini menjadi tanggung jawab kita bersama.

Referensi:

0 comments:

Posting Komentar